Kamis, 26 Desember 2013

Jangan Berlebihan dan Kufur Nikmat !


KATA orang, hidup itu penuh misteri. Enggak ada yang tahu apa yang terjadi hari ini, dan hari esok. Bahkan, momen pasca pergantian menit dan detik pun tak bisa ditebak. Jangan heran, banyak orang yang sebelumnya tertawa terbahak-bahak, tiba-tiba raut wajahnya berubah 180 derajat menjadi sedih bahkan menangis tersedu-sedu. Sekali lagi, itulah misteri yang hanya diketahui oleh sang pemilik hidup.
Berkaca pada fakta tersebut, saya semakin sadar, segala sesuatu yang ‘berlebihan’ tidaklah baik. Karena, itulah hukum alam yang tidak bisa dibantah dan dielakkan. Bahkan, kita tahu bersama. Dalam fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, banyak manusia yang tidak bisa menerima kenyataan pahit di luar rencana dan keinginannya. Padahal, menurut hemat saya, dia tidak perlu dirundung sedih yang ‘berlebihan’ jika dia memahami secara benar, makna dari kata ‘berlebihan’. Bahkan, karena kata itu pula, kerap kita dengar ada manusia yang memutuskan mengakhiri ‘jatah’ hidupnya akibat sikap ‘berlebihan’ itu.
Misalnya saja, mereka yang ‘berlebihan’ mengharapkan hidup lebih baik, namun menempuh jalan yang salah. Contohnya, menempuh cara mistis dengan pesugihan. Di mana, kita ketahui, pada umumnya pesugihan mengharapkan tumbal. Jika tidak, maka sang pelakulah yang menjadi tumbal pesugihan yang dia buat. Permisalan itu sudah bisa mewakili apa yang disebut dengan kata ‘berlebihan’. Padahal, tanpa menempuh cara itu, apa yang anda inginkan tetap bisa diperoleh. Dengan catatan, ada upaya dan kerja keras. Dan terpenting, disempurnakan dengan menyerahkan semua keputusan dan hasil dari kerja keras kita pada sang ‘maha kaya’ dan ‘pemurah’.
Contoh lain yang lebih mudah dipahami tentang perilaku ‘berlebihan’, bisa ditemukan pada kasus dua sejoli yang saling mencinta. Bahkan, dalam kesehariannya, mereka telah bersumpah akan sehidup-semati. Praktis, secara tidak langsung, pernyataan itu seakan menjadi doktrin bagi keduanya. Ketika apa yang mereka inginkan tak terpenuhi karena satu sebab, mengakhiri hidup adalah jalan terbaik bagi mereka.
Padahal, hal itu sudah jelas bertentangan dengan ketetapan sang pencipta. Bahkan, mereka telah termasuk golongan orang kafir yang mendahului ketetapan allah. Bukti tersebut hendaknya menjadi cerminan setiap manusia betapa hal ‘berlebihan’ dapat mengantarkan pelakunya pada kesusahan dan kesengsaraan. Sehingga, akan lebih baik jika dihindari.
Selain sifat ‘berlebihan’, masih ada sikap lain yang tidak tepat diterapkan di dalam kehidupan seorang manusia. Yakni sifat Kufur Nikmat. Di mana, seperti diketahui, sifat tersebut merupakan wujud ketidaksyukuran seorang manusia atas rezeki yang diberikan sang pencipta. Wujud rezeki itu pun beragam. Bisa berupa harta, kebahagiaan, iman hingga rezeki berwujud kesehatan.
Tak dipungkiri, wujud rezeki di atas, kerap luput dari kesyukuran manusia (termasuk penulis) saat semua dimiliki. Bahkan, tidak jarang manusia yang sesumbar jika nikmat kesehatan itu diperoleh berkat upaya manusia itu dalam menjaganya. Sehingga, menampik fakta yang menyatakan jika nikmat itulah anugrah dan rezeki tak terhingga yang selaiknya disyukuri. Namun, ketika jatuh sakit atau nikmat itu hilang lantaran dicabut sang pemilik, manusia itu enggan dipersalahkan. Bahkan, mengutuk dan memaki sang pencipta atas penderitaan yang dia alami. Padahal, semestinya, jika dia menganggap jika nikmat yang dia peroleh selama ini berkat usahanya, semestinya dia mempersalahkan diri sendiri ketika semua itu telah dicabut.
Yah, fenomena di atas, sekilas memang sepeleh. Namun, jika direnungi secara mendalam dibarengi instrospeksi diri, maka akan banyak pelajaran yang bisa diperoleh. Bahkan, bagi penulis sekalipun,  masih butuh begitu banyak pembenahan. Mengingat, apa yang dimiliki saat ini, masih kerap melenceng dari kebenaran yang dia tuliskan di atas. Dengan begitu, apa yang penulis guratkan dalam artikel kali ini, semata mengingatkan diri sendiri untuk menempuh kehidupan yang lebih baik. Tidak hanya untuk kepentingan duniawi, melainkan demi kehidupan akhirat yang bersifat kekal. Amin ya robbal alamiiin !!!! (Imran Ibnu/Bontang Post).


Selasa, 24 Desember 2013

Sepenggal Kisah Di Masa Lalu

Kerasnya Hidup Bekal Masa Depan

MASA lalu, merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan masa kini dan masa depan. Bahkan, tanpa masa lalu, tidak akan ada cerita, kenangan bahkan kesedihan. Bagi mereka yang pandai, akan mengantarkan pemilik masa lalu pada kehidupan yang lebih baik. Berbeda, ketika masa lalu itu dijadikan bahan meratap, biasanya akan berujung pada keterpurukan.
Begitupula sepenggal masa lalu yang sampai saat ini masih tersimpan rapat di labirin otak saya dan tetap menjadi rahasia yang dikemas dalam ‘Album Kehidupan’ saya. Yang sewaktu-waktu saya buka dan kenang kembali sebagai pedoman serta bahan pembelajaran demi menyongsong hari-hari di masa depan.
Salah satu kenangan itu, tatkala saya sekeluarga memutuskan pindah rumah dari Desa Santan Kecamatan Marangkayu, Kutai Kartanegara menuju ke Desa Perigi Kutai Kartanegara beberapa tahun silam.
Penyebabnya, pasca kebakaran yang menimpa kebun kelapa sebagai sumber kehidupan yang selama ini mengepulkan asap dapur keluarga saya.
Meski tidak tinggal lama di desa itu, kenangan berisi pahit dan manis kehidupan cukup menarik untuk dituangkan menjadi tulisan yang sewaktu-waktu bisa menjadi pelipurlara akan kenangan masa lalu.
Kisah ini dimulai ketika kami sekeluarga yang terdiri atas 4 manusia (Ibnu Hajar, Nurhayati, Imran Ibnu, Yuiatus Sholihah) memutuskan melakukan perjalanan ke Desa Perigi (kediaman baru kami). Saya tidak tahu pasti waktunya (maklum saat itu saya masih kecil). Perjalanan itu, Yuli dalam gendongan bapak saya, sementara saya dan mama tetap berjalan menyusuri tapak demi tapak menuju lokasi kediaman kami yang baru.
Hal menarik dalam perjalanan itu, kami harus menempuh perjalanan yang tidak biasa. Betapa tidak, saat itu bertepatan dengan musim penghujan. Sehingga, pada daerah tertentu dengan kontur tanah rendah, maka akan tertendam air.
Hal itulah yang kami alami dalam menempuh perjalan ke kediaman baru kami yang masih dikelilingi hutan belantara. Medan yang harus kami tempuh juga tidak bisa dianggap main-main. Karena, bisa dikatakan jalan yang kami lalui adalah jalan baru yang jarang dilalui manusia setempat. Sehingga, begitu banyak rintangan yang mewarnai perjalanan kami. Selain genangan air yang bersumber dari hujan maupun luapan air sungai yang berada beberapa meter dari jalan yang kami lalui, juga diperparah semak belukar dan pepohonan yang enggan takluk oleh genangan air yang masih betah berlama-lama mengiringi perjalanan kami siang itu.
Bahkan, tak terelak lagi luka goresan hingga hujaman kayu yang tak terlihat menyerang telapak kaki hingga betis saya yang memang sengaja kubuat telanjang. Karena, hanya dengan itu, saya bisa berjalan cepat. Sementara, alas kaki yang sebelumnya saya kenakan, justru berpindah letak bertengger di tangan kiri saya. Agar, saya tidak tertinggal jauh dari langkah bapak dan mama yang tampak biasa dengan medan yang kami lalui saat itu. Saya maklum akan hal itu, karena pahit-manis kehidupan telah matang mereka kecap jauh sebelum aku hadir di tengah-tengah mereka. Sehingga, saya yakin, penderitaan yang saya rasakan saat itu, bukan satu hal berarti bagi mereka. Oleh sebab itu, saya pun bertekat meneruskan perjalanan dan melupakan luka serta goresan yang saya yakin terus mengucurkan darah segar larut terbawa genangan air berwarna susu cokelat itu.
Rumitnya medan yang harus kami tempuh, kerap membuat kami sesekali terperosok dalam lubang tak terlihat lantaran tertutup genangan air. Bahkan, karena kesulitan itu pula, Yuli yang semula berada digendongan bapak memutuskan turun dan ikut menapakkan kaki mungilnya menyertai langkah bapak dan mama yang tampak letih menyusuri jalan yang seolah tak kunjung habis. Meskipun langkah kami lantas mulai melunak tidak secepat tadi, karena harus mempertimbangkan keselamatan Yuli yang jelas butuh bimbingan dan kewaspadaan tinggi.
Saat itu, bagi siapapun yang melihat, pasti akan dirundung kekhawatiran. Pasalnya, letak sungai berada tak jauh dengan jalur yang kami lalui, ditambah fakta jika sungai itu dihuni puluhan Predator pemakan daging jenis buaya. Bahkan, belakangan saya tahu, hewan berdarah dingin itu telah melahap beberapa korban yang mengantarkannya menemui sang pencipta. Namun, entah kenapa, tidak ada ketakutan akan hal itu pada diri saya (kalau yang lain saya tidak tahu). Mungkin karena terlalu fokus dengan medan yang haus saya lalui dan butuh konsentrasi tinggi agar tidak terperosok untuk kesekian kali.
Jarak kurang lebih 12 KM kami tempuh dengan berjalan kaki, akhirnya mengantarkan kami menuju sebuah pedesaan dengan daratan tanpa terendam banjir.
Meskipun belum tahu bagaimana kami akan memulai kehidupan baru di tempat asing ini, tapi saya merasa senang karena berhasil menempuh perjalanan melelahkan dan menyiksan itu. Yang telah berhasil mencetak luka goresan dan rasa perih menusuk-nusuk telapak kaki saya. Hal serupa pun tampak dirasakan oleh Yuli yang ikut menyusuri tapak demi tapak menuju ke Desa yang akan menjadi rumah baru kami selama beberapa bulan itu.
Meski menderita, tapi bukan itu yang tersimpan dan membekas di hati kami. Melainkan, pelajaran tentang arti kehidupan dan memahami arti sesungguhnya sebuah perjuangan. Sehingga, saat dewasa, kami akan mampu menghargai sebuah usaha dan tidak mudah mengeluh. Karena, pengalaman adalah guru terbaik dalam hidup ini. (Imran Ibnu, Jakarta) 

Minggu, 01 Desember 2013

Si Anak Hilang Pulang !




Nginap Di Halte, ‘Puasa’ 3 Hari

SETELAH 8 hari hilang, Rajes Octavian putra pasangan Heri Sutrisno dan Heny Sunarti akhirnya ditemukan. Suasana haru biru pun menyelimuti kediaman warga RT 13 Kelurahan Lhotkuan ini. Rajes yang sebelumnya hilang, kini pulang dengan selamat meskipun dengan kondisi fisik yang memprihantinkan yang diperolehnya saat melalui petualangan itu.
Informasi yang dihimpun Bontang Post, Rajes tiba di tengah-tengah keluarga pukul 13.00 Wita, Minggu (19/5) kemarin dengan selamat. Meski begitu, buah dari petualangan itu, Rajes ditemukan dengan aroma tubuh yang menyengat serta luka lebam menghiasi bibir pelajar SD Nurul Imam Lhoktuan itu. Yang diperoleh saat menjalani petualangan yang sempat mengegerkan warga Bontang itu.
Rajes yang kini telah bisa bicara, mengisahkan krologis petualangannya selama 8 hari itu kepada media ini. Awal perjalannya, kata Rajes bermula ketika dia tengah bermain di rumah seorang kawan di Simpang Sangatta. Lalu, saat hujan, dia berteduh di pos ojek yang ada di tepi jalan raya tak jauh dari rumah kawan tempat dia bermain. Lalu tiba-tiba ada 2 orang pria tak dikenal datang menjemput menggunakan mobil merek kijang Inova.
Lalu, mereka menuju ke sebuah rumah adat etnis Dayak tanpa diberikan penjelasan. Oleh sebab itu, dia lantas memutuskan kabur dari kedua orang asing itu. Lalu dia menyusuri sepanjang Jalan Simpang sangatta. Namun, tiba-tiba sebuah mobil truk singgah dan memberikan tumpangan kepadanya. Lantas menuju ke Pos Polisi (Pospol) Teluk Pandan.
“Di Pos polisi, saya ditanyain kenapa bisa sampai nyasar di tempat itu (Simpang Sangatta, Red,) dan alamat rumah saya,” kenangnya.
Setelah itu, dia diizinkan kembali meneruskan perjalanan. Lalu dia menyusuri jalan di bawah jembatan Indominco. Nah, dari situ, ia menghentikan Bus Samarinda Lestari hingga diturunkan ke Terminal Lempake Samarinda. Selanjutnya ia naik angkutan kota (angkot) ke terminal Beringin Jaya Samarinda Seberang. Perjalanan itu dilakukan tanpa bekal uang sepeser pun.
Begitupula saat di Samarinda. Segala bentuk aktivitas berlangsung di Terminal itu. Bahkan, lantaran tidak punya uang, Rajes mengaku tidak makan selama 3 hari. Di sisi lain. dia juga tidak meminta belas kasih dari orang lain untuk memberi makan atau uang. Meski begitu, tanpa meminta, ada saja penumpang yang memberi uang padanya. Paling banyak Rp 20 ribu dan paling sedikit Rp 5 ribu.
“Dari pemberian itu, saya bisa bertahan hidup. Sampai ditemukan sama temannya bapak,” terangnya.
Heri Sutrisno sang ayah membenarkan pengakuan Rajes. Kata dia, Rajes ditemukan berkat bantuan kawannya yang juga warga Kelurahan Lhoktuan. Saat itu, kawannya tengah melakukan perjalanan ke Samarinda Seberang. Namun, di tengah perjalanan, tanpa sengaja sang kawan melihat Rajes tengah duduk mematung di Terminal Beringin Jaya kota itu. Sementara sang kawan mengetahui kabar kepergian Rajes dari rumah, setelah membaca koran Bontang Post sebelum melakukan perjalanan itu.
“Teman saya mau ikut lomba burung di Samarinda. Di jalan dia lihat anak saya duduk di halte, makanya, langsung mampir, dan dibelikan tiket. Lalu dititipkan di Bus Bone Indah Jaya jalur Samarinda-Bontang,” jelasnya pada Bontang Post, Senin (20/5) kemarin.
Setelah mengurus keberangkatan Rajes, kawannya lantas menghubungi dia Heri. Lalu mengabarkan kondisi Rajes serta meminta Heri menunggu kedatangan Rajes di Terminal Bontang.
Saat Rajes tiba, Heri dan istrinya mengaku terkejut sekaligus merasa sedih atas kondisi fisik Rajes yang amat memperihatinkan. Pasalnya, meskipun disambut dengan haru oleh keduanya, namun Rajes tetap dengan tatapan kosong seolah tak mengenal kedua orangtuanya.
Meski begitu, keduanya lantas tersadar akan apa yang telah menimpa sang anak. Bahwa, perjalanan yang dilalui Rajes selama ini, bukan hal biasa yang dilakukan manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, dia lalu teringat akan pesan seorang kawan yang mengerti tentang hal-hal ghoib. Menyarankan, agar sebelum memanggil Rajes, terlebih dahulu menepuk bahu anaknya. Lalu meniup kedua kuping serta mulut anaknya. Tujuannya, agar makhluk halus yang mungkin berada dalam tubuh anak itu segera hilang.
“Saran itu dari teman saya. Meskipun tidak logis, tapi apapun akan saya lakukan supaya anak saya kembali seperti sediakala,” tukasnya.
Heny Sunarty (ibu Rajes) menambahkan. Saat ditemukan, aroma tubuh Rajes laksana aroma hewan. Maklum, menurut pengakuan anaknya, selama ‘bertualang’ Rajes tak pernah mandi menggunakan Sabun Mandi, serta perlengkapan mandi yang laik.
“Bibir anak saya juga bengkak. Katanya, dia jatuh dari Halte Terminal Beringin Jaya Samarinda,” kisahnya.
Meski begitu, saat ditemukan, Rajes tak lantas dibawa pulang kerumah mereka di Lhoktuan. Melainkan  dimandikan terlebih dahulu di Masjid Baiturrahman Pupuk Kaltim, Bontang. Tujuannya, selain membersihkan tubuh Rajes, juga menghilangkan pengaruh jahat yang telah menyesatkan anaknya selama 8 hari lamananya.
 “Setelah dimandikan, memang ada perubahan. Kini lebih segar dan mulai mengenali orang-orang di sekitarnya. Tidak seperti sebelumnya. Baru kami bawa pulang ke rumah,” katanya.
Usut punya usut, ternyata kepergian Rajes dari rumah hari itu, lantaran merasa kesal dengan sang kakak yang memarahinya ketika menutup pintu rumah dengan keras. Meski begitu, atas kejadian itu, baik dari Rajes, sang kakak, serta kedua orangtuanya mengaku bersyukur  telah dipertemukan kembali. Kejadian itu pun dianggap sebagai pelajaran sehingga tidak terulang kembali. (Imran/ Bontang Post)

Tak Punya Petunjuk, Pintu Warga Jadi Tempat Bertanya

Kisah Maryono, 10 Tahun Berkelana Mencari Anaknya yang Hilang



Kisah pilu digurat Maryono. Pria 65 tahun ini menapaki hari demi hari penuh ketidakpastian di tanah perantauan. Kedua anaknya, Bagus Subiantoro dan Erna, hilang sejak 10 tahun lalu. Meski tak punya rujukan pasti, pria kelahiran Desa Ajowilangoh, Jawa Timur ini nekat menjelajahi Kota Taman untuk menemukan kedua anak tercintanya.

MATA Maryono nampak kosong. Pria sepuh ini tak banyak bicara, selain hanya keletihan usai berjalan kaki. Saat ditemui di Kantor Kelurahan Api-Api kemarin (28/5), mantan buruh lepas ini mengenakan baju biru muda kotak-kotak dengan peci dan celana kain hitam. Ia didampingi Ketua Satuan Petugas (Satgas) Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) Kelurahan Api-Api, Gatot Rochman.
Kedatangan Maryono ke Bontang bukan tanpa sebab. Usut punya usut, ia sedang mencari keberadaan kedua anaknya di Kota Taman. Tersiar kabar dari tetangganya di Desa Ajowilangoh, Kecamatan Kalipare, Malang, Jawa Timur, kedua anaknya merantau ke Kota Taman sejak 2003 lalu.
Maryono sebenarnya sudah 4 bulan berada di Bontang. Selama di tanah perantauan,  ia tinggal sementara waktu di Masjid Al-Wahab di Kelurahan Bontang Kuala usai diberi izin oleh takmir masjid setempat.
Pencarian Maryono di Bontang memang terbilang nekat. Selain tak punya petunjuk pasti keberadaan sang anak, ia pun tak membawa foto kedua anaknya sebagai informasi. Tidak heran, pencarian yang dilakukannya ini ibarat mencari jarum ditumpukkan jerami.
Meski begitu, Maryono tak patah arang. Sejumlah kawasan disambangani sejak siang hingga malam hari dengan berjalan kaki. Pintu-pintu rumah warga pun diketuk untuk sekadar bertanya tentang keberadaan kedua anaknya. Satang, tindakannya ini justru mengundang keluhan lantaran sebagian warga merasa terganggu.
Ketua Satgas FKPM Kelurahan Api-Api Gatot Rochman mengatakan, saat Maryono melanjutkan pencarian ke wilayah Kelurahan Api-Api. Beberapa warga yang merasa terganggu karena aktivtas yang dilakukan Maryono di malam hari, lantas melaporkannya ke pihak kelurahan bagian Kesejahteraan Sosial (Kesos) Kelurahan Api-Api melalui pesan singkat yang dikirim warga melalui handphone.
Maka, lanjut Gatot, sekira pukul 11.30 Wita, Maryono pun bertandang di Kelurahan Api-Api, dengan maksud memenuhi panggilan kelurahan, sekaligus meminta pertolongan kelurahan. Agar, pencarian panjang tersebut segera berakhir. Yang kemudian disambut Satgas FKPM yang berada di bawah naungan bagian Ketentraman dan Ketertiban (Trantib) Kelurahan Api-Api sebagai penanggung jawab ketertiban dan keamanan tersebut.
“Kami dapat keluhan dari warga kami bahwa, ada orang tua yang tiap malam keliling mencari anaknya dan menggedor-gedor pintu rumah warga. Makanya kami, meminta orang tua ini ke Kelurahan dan meminta keterangan,” jelas Gatot Rochman pada Bontang Post, Senin (27/5) kemarin.
Di tempat yang sama, Wahyono mengaku terakhir kali bertemu anaknya di kampung halamannya di Malang, Kecamatan Kalipare, Desa Ajowilangoh, Jawa Timur sejak 2003 silam. Saat itu, ia memilih berangkat ke Kota Samarinda untuk mengadu nasib untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Sementara, kedua anaknya yakni Bagus Subiantoro dan Erna, dimintanya untuk tinggal menjaga rumah, sembari menuggunya kembali.
Setelah merantau selama 1 tahun di Samarinda dan memperoleh uang yang cukup untuk diberikan kepada anak-anaknya. Namun, saat ia tiba di kampung halaman, yang ditemuinya justru rumah dalam keadaan kosong. Praktis, ia pun mulai bertanya-tanya, kemana kedua anaknya pergi selama ia tidak ada. Hingga suatu ketika, salah seorang tetangganya mengabarkan, sempat melihat sang anak di Kota Bontang.
“Tapi, saat itu tetangga saya tidak tahu kalau anak saya, pergi tanpa sepengetahuan saya. Makanya, tidak menyapa anak saya,” katanya.
Sejak saat itu, ia pun memutuskan mecari ke Bontang. Tapi, karena ia tak memiliki sanak kerabat di Bontang, ia pun meminta izin ke takmir masjid tua Al-Wahab di Kelurahan Bontang Kuala untuk tinggal sembari melanjutkan pencarian kedua anaknya. Caranya, dengan menelusuri rumah warga, dari RT ke RT hingga melintasi batas kelurahan. Lantas menanyakan, nama, umur dan ciri fisik anaknya.
“Tapi, karena saya tidak punya foto anak saya. Makanya, tidak ada orang tidak tahu, bahkan, ada yang sedikit kesal karena saya ketok pintu rumahnya saat tengah malam sekira pukul 23.00 wita. Padahal, saya sudah mencari selama 4 bulan sejak saya datang ke Bontang Februari lalu,” keluhnya.
Namun, karena keterbatasan informasi tersebut, ia pun berharap bantuan kepada Bontang Post, untuk menampilkan wajahnya di koran. Sehingga, ketika anaknya melihat atau salah seorang foto wajahnya, agar bisa segera mencarinya di Kantor Kelurahan Api-Api. Atau menghubungi Ketua FKPM Kelurahan Api-Api Gatot Rochman di nomor 082 143 783 334. (Imran Ibnu/Bontang Post)