Jumat, 02 Mei 2014

Kebenaran Sejati Itu Indah

APAKAH kebenaran itu indah? Bagi banyak orang, kebenaran dan keindahan mungkin dua hal yang berbeda. Namun Steven Weinberg, peraih Hadiah Nobel Fisika 1979, meyakini bahwa “kebenaran itu indah.” Bagi para fisikawan, persamaan mashur Albert Einstein, E=mc2, tidak ubahnya puisi. Bagi Einstein sendiri, keindahan merupakan syarat utama bagi setiap teori (fisika) bila mau dianggap serius—adalah teori fisika yang main-main?
Keyakinan bahwa teori mengenai alam semesta mesti indah bahkan menjadi pemandu yang amat berharga bagi para fisikawan; ia sejenis bintang kutub. Weinberg percaya, meningkatnya keindahan teori-teori fundamental mengenai materi menandakan bahwa para fisikawan telah berada di ambang penemuan teori pamungkas yang sanggup menjelaskan setiap hal (Weinberg, Dreams of a Final Theory, 1993).
Selama puluhan tahun Weinberg memburu teori pamungkas yang juga diangankan dan diburu oleh Einstein di sepanjang 25 tahun terakhir kehidupannya, namun tak kunjung ia jumpai. Bahwa keindahan adalah bintang kutub yang memandu perburuan itu, Weinberg berbagi keyakinan dengan Einstein. Hans, anak tertua Einstein, suatu kali mengatakan, karakter ayahnya lebih menyerupai seniman ketimbang ilmuwan. "[Bagi Einstein], pujian tertinggi untuk teori yang baik bukanlah bahwa teori itu benar dan bukan lantaran teori itu eksak, melainkan karena teori itu indah," ujar Hans.
Fisikawan Paul Dirac juga berpandangan serupa. Dalam sebuah seminar di Moskow (1955), ketika diminta untuk meringkaskan filsafat fisikanya, Dirac menulis di papan dalam huruf-huruf besar: "Hukum fisika mesti menghadirkan keindahan matematis."
Soalnya kemudian, keindahan macam apa? Secara tak langsung jawabannya diberikan oleh Stephen Hawking yang menyebutkan bahwa satu-satunya persamaan yang tak bisa ia tiadakan dari naskah The Brief History of Time ialah E=mc2. Narasi yang ia kisahkan dalam buku laris itu akan berkurang bobotnya bila persamaan Einstein itu dihapus. Dan Hawking tetap mencantumkannya karena alasan kesederhanaan persamaan itu, yang hanya terdiri atas lima simbol: E, =, m, c, dan 2. Sederhana, tanpa hiasan berlebihan.
Keindahan itu juga bermakna praktis. Laiknya keindahan kuda pacu, yang sebagiannya terletak pada kemampuannya memenangi pacuan di lintasan, keindahan suatu teori bergantung pula pada kedigdayaannya memberi penjelasan tentang bagaimana alam bekerja. Persamaan ini indah lantaran mampu membangkitkan keriangan seperti yang dijumpai dalam puisi, lukisan, musik, atau tari.
Seperti karya-besar seni, persamaan yang indah memiliki atribut lebih dari sekadar daya tarik--universalitasnya, kesederhanaannya, ketakterhindarannya, dan kekuatannya. Bayangkanlah lukisan Apples and Pears-nya Paul Cézanne, interpretasi Lady Macbeth oleh Judi Dench, atau Manhattan dalam lantunan Ella Fitzgerald. Keindahannya bukan dari jenis hiasan, melainkan esensial.
Persamaan yang indah mestilah menjulang lantaran kesesuaiannya dengan setiap eksperimen yang relevan dan, lebih baik lagi, mampu memprediksi tentang sesuatu. Bagi Weinberg, teori gravitasi Einstein indah. Inilah teori yang dibangun di atas prinsip sederhana, yang tak bisa diubah sedikit pun tanpa meruntuhkannya, yang belum pernah ditemukan melalui eksperimen, namun telah membuka keseluruhan jalan baru bagi riset-riset lain. Jauh sebelum ada dukungan serius dari eksperimen, sebelum ia mempublikasikan teorinya, Einstein berkelakar: persamaan itu "terlalu indah untuk salah".
Tapi, keindahan teori dalam sains tidak selalu disepakati oleh setiap ilmuwan. Teori penyatuan gaya Weinberg, yang mendatangkan Nobel baginya, sempat dikritik oleh fisikawan Richard Feynman saat masih hangat dibicarakan pada 1975. "Teori itu terlalu buruk untuk benar," ujar humoris ini.
Bagi Weinberg, komentar itu menjengkelkan, kendati ia juga tidak puas pada bagian yang dikritik oleh Feynman. Cita rasa Weinberg, belakangan, terbukti lebih baik ketimbang Feynman. Teorinya lolos dari serangkaian uji eksperimental dan menjadi bagian kunci dari teori pamungkas yang tengah diburu. Namun Weinberg belum sepenuhnya pasti bahwa segalanya akan berjalan konsisten dan bakal sampai kepada teori pamungkas itu.
"Kalaupun tidak konsisten, lantas mau apa?" kata Weinberg. "Bahkan, seandainya teori-teori kita secara matematis konsisten, kita juga tidak pernah memperoleh kepastian absolut bahwa teori-teori itu menggambarkan dunia yang sesungguhnya.” Bagi Weinberg, fisikawan berurusan dengan kemungkinan, bukan kepastian. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar