LAHIR mati jodoh ditangan Yang Kuasa. Begitu yang selama ini kita
dengar. Dengan gitu semua tadi tidak bisa kita tentukan. Benarkah? To
certain extent, memang begitulah kenyataannya. Makanya ada istilah??????
Rén suàn bùrú ti?n suàn alias Man proposes; God disposes atau God's
plans supercede Man's plans. Selihai-lihainya kita membuat rencana,
tetapi at the end rencana-Nya lah yang menentukan. Sayang nya
ungkapan ini tak jarang dijadikan alasan, dipakai sebagai “tameng” buat
alasan, menutupi kelemahan serta justifikasi bagi mereka-mereka yang
kurang drive, yang “malas.” Jadi apa-apa selalu “terserah/ditentukan Yang Kuasa.”
Sudah sejak ratusan bahkan ribuan tahun, pembahasan soal mati menjadi
topik menarik. Pasalnya soal yang satu ini pasti akan kita alami, only a matter of time,
cepat atau lambat. Berjuta teori serta penjelasan dijabarkan banyak
pihak. Dari sisi agama dan spiritual, dari sisi medis, teknologi dan
sebagainya. Semuanya mencoba menjabarkan soal yang sampai sekarang masih
misteri besar. Karena selama ini semua informasi hanyalah berdasarkan
“andai-andai” saja, tidak satupun mereka yang sudah mati kembali lagi
dan menjelaskan semuanya secara gamblang. Kalaupun ada yang pernah mati
suri, penjelasannya tidak benar-benar jelas karena matinya hanya sesaat,
bukan forever. Nara sumber soal kematian bukan first hand sources, jadinya akurasinya pun hanya sebatas level kira-kira. Informasi lainnya yang based on religion pun idem, semua infonya ya demikian seperti yang disampaikan. We just have to belive the story.
Penjelasan para spiritualis pun bervariasi, tergantung back ground budaya, kepercayaan dan pengalaman hidup mereka. Jadi bukan tak mungkin ada yang conflicting.Yang menarik sekaligus ironis ialah banyak sekali pemuka agama dan para spiritualis yang berbicara bagus dan indah soal after life, tetapi coba saja tanya kenapa mereka sendiri tidak mau cepat-cepat meninggalkan dunia? Jawabannya pasti "menarik."
Jadi singkatnya, the real truth about kematian sampai saat ini masih “ngambang.” Satu hal yang pasti ialah one day we all will die.
Mati tidak bisa kita hindari. Tentu saja banyak yang khawatir bahkan
takut mati. Makanya para kaisar jaman dulu “ditemani” banyak pengawal
dan dayang-dayang pada saat meninggal. “Kematian adalah tidur yang lebih
lama,” “Selalu melakukan karma baik untuk bekal nanti.” “Jangan takut
mati karena nanti masuk surga.” Dan masih banyak lagi jargon-jargon yang
semuanya untuk menyemangati kita agar tidak takut menghadapi kematian
kelak.
Ada sebuah teori sebuah dariseorang Dokter asal China tentang cara menghitung usia kita. Tambahkan usia ayah dan ibu, lalu dibagi dua dan hasilnya ditambah
lima tahun. Misalkan umur ayah dan ibu saat meninggal adalah 70. Maka
70 + 70 = 140: 2 = 70 + 5 = 75. Jadi life span kita kira-kira bisa
mencapai 75 tahun. Tambah lima tahun karena untuk faktor kemajuan
teknologi kesehatan, faktor bertambahnya tingkat harapan hidup, faktor
meningkatnya taraf kesejahteraan, yang semuanya bisa menambah usia kita.
Kalau teori di atas benar, maka tentu not so good news bagi
yang ortunya berumur pendek. Panjang pendeknya usia memang ada pengaruh
dengan genetika/DNA. Jadi soal keturunan juga. Bukankah tak jarang ada
yang ngikutin jejak ortu berumur pendek atau sebaliknya. Tingkat harapan
hidup di negara kita tinggal, life style, pola makan, pola olah raga,
faktor kualitas lingkungan, kemajuan teknologi kesehatan merupakan
faktor-faktor yang juga berkontribusi pada panjang pendeknya usia kita.
Dari sisi sini, soal lahir dan mati juga ada campur tangan/dipengaruhi
oleh actions kita. Jadi jangan mau enaknya dengan bilang
“takdir.” Biarpun takdir kita umur panjang, tapi kita sembarangan makan,
gak jaga kesehatan, atau serampangan bawa kendaraan, maka risiko buat
cepet mati pun pasti meningkat. It’s not how long we live, but how high the achievement and the quality. Bukan soal berapa lama tapi bagaimana kualitas dan prestasi selama kita hidup juga sering didengung-dengungkan guna anwei anwei (menenangkan)
dan menyemangati diri. Buat yang berprestasi spektakular tetapi mati
muda dibilangnya menjalani hidup seperti meteor. Melesat secepat kilat,
memukau perhatian dan menakjubkan dilihat tetapi kemudian sirna.
“Bukan soal berapa lama kita hidup, tetapi seberapa lama kita
dikenang orang setelah meninggal nanti.” Begitulah yang saya dengar dari
salah seorang redaktur koran berbahasa Mandarin (Harian Indonesia) di
era-era sedang aktif menulis untuk mereka. “Berani menghadapi kesulitan
hidup lebih hebat dari tidak takut mati” adalah another popular line untuk boosting keberanian menyongsong kematian.
Ya memang banyak sekali jargon-jargon, informasi, teori dan
“kepercayaan” yang diciptakan mengenai kematian, semuanya bertujuan agar
kita tidak usah keder/takut menghadapi kematian. Apapun yang kita
dengar soal kematian, dicerna saja dan lihat dari sisi positifnya. We all cannot avoid death karena sebenarnya saat kita lahir kita sudah mulai count down ke kematian. Tanpa ada kematian tak akan ada kelahiran/kehidupan. Inilah kenyataan hidup. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar