Jumat, 02 Mei 2014

TEMPO

alamat koran Tempo: http://pemilu.tempo.co/kanal/analisa/10

Mati Muda - Berapa Lama Kita Hidup?


LAHIR mati jodoh ditangan Yang Kuasa. Begitu yang selama ini kita dengar. Dengan gitu semua tadi tidak bisa kita tentukan. Benarkah? To certain extent, memang begitulah kenyataannya. Makanya ada istilah?????? Rén suàn bùrú ti?n suàn alias Man proposes; God disposes atau God's plans supercede Man's plans. Selihai-lihainya kita membuat rencana, tetapi at the end rencana-Nya lah yang menentukan. Sayang nya ungkapan ini tak jarang dijadikan alasan, dipakai sebagai “tameng” buat alasan, menutupi kelemahan serta justifikasi bagi mereka-mereka yang kurang drive, yang “malas.” Jadi apa-apa selalu “terserah/ditentukan Yang Kuasa.”
Sudah sejak ratusan bahkan ribuan tahun, pembahasan soal mati menjadi topik menarik. Pasalnya soal yang satu ini pasti akan kita alami, only a matter of time, cepat atau lambat. Berjuta teori serta penjelasan dijabarkan banyak pihak. Dari sisi agama dan spiritual, dari sisi medis, teknologi dan sebagainya. Semuanya mencoba menjabarkan soal yang sampai sekarang masih misteri besar. Karena selama ini semua informasi hanyalah berdasarkan “andai-andai” saja, tidak satupun mereka yang sudah mati kembali lagi dan menjelaskan semuanya secara gamblang. Kalaupun ada yang pernah mati suri, penjelasannya tidak benar-benar jelas karena matinya hanya sesaat, bukan forever. Nara sumber soal kematian bukan first hand sources, jadinya akurasinya pun hanya sebatas level kira-kira. Informasi lainnya yang based on religion pun idem, semua infonya ya demikian seperti yang disampaikan. We just have to belive the story.
Penjelasan para spiritualis pun bervariasi, tergantung back ground budaya, kepercayaan dan pengalaman hidup mereka. Jadi bukan tak mungkin ada yang conflicting.Yang menarik sekaligus ironis ialah banyak sekali pemuka agama dan para spiritualis yang berbicara bagus dan indah soal after life, tetapi coba saja tanya kenapa mereka sendiri tidak mau cepat-cepat meninggalkan dunia? Jawabannya pasti "menarik."
Jadi singkatnya, the real truth about kematian sampai saat ini masih “ngambang.” Satu hal yang pasti ialah one day we all will die. Mati tidak bisa kita hindari. Tentu saja banyak yang khawatir bahkan takut mati. Makanya para kaisar jaman dulu “ditemani” banyak pengawal dan dayang-dayang pada saat meninggal. “Kematian adalah tidur yang lebih lama,” “Selalu melakukan karma baik untuk bekal nanti.” “Jangan takut mati karena nanti masuk surga.” Dan masih banyak lagi jargon-jargon yang semuanya untuk menyemangati kita agar tidak takut menghadapi kematian kelak.
Ada sebuah teori sebuah dariseorang Dokter asal China tentang cara menghitung usia kita. Tambahkan usia ayah dan ibu, lalu dibagi dua dan hasilnya ditambah lima tahun. Misalkan umur ayah dan ibu saat meninggal adalah 70. Maka 70 + 70 = 140: 2 = 70 + 5 = 75. Jadi life span kita kira-kira bisa mencapai 75 tahun. Tambah lima tahun karena untuk faktor kemajuan teknologi kesehatan, faktor bertambahnya tingkat harapan hidup, faktor meningkatnya taraf kesejahteraan, yang semuanya bisa menambah usia kita.
Kalau teori di atas benar, maka tentu not so good news bagi yang ortunya berumur pendek. Panjang pendeknya usia memang ada pengaruh dengan genetika/DNA. Jadi soal keturunan juga. Bukankah tak jarang ada yang ngikutin jejak ortu berumur pendek atau sebaliknya. Tingkat harapan hidup di negara kita tinggal, life style, pola makan, pola olah raga, faktor kualitas lingkungan, kemajuan teknologi kesehatan merupakan faktor-faktor yang juga berkontribusi pada panjang pendeknya usia kita. Dari sisi sini, soal lahir dan mati juga ada campur tangan/dipengaruhi oleh actions kita. Jadi jangan mau enaknya dengan bilang “takdir.” Biarpun takdir kita umur panjang, tapi kita sembarangan makan, gak jaga kesehatan, atau serampangan bawa kendaraan, maka risiko buat cepet mati pun pasti meningkat. It’s not how long we live, but how high the achievement and the quality. Bukan soal berapa lama tapi bagaimana kualitas dan prestasi selama kita hidup juga sering didengung-dengungkan guna anwei anwei (menenangkan) dan menyemangati diri. Buat yang berprestasi spektakular tetapi mati muda dibilangnya menjalani hidup seperti meteor. Melesat secepat kilat, memukau perhatian dan menakjubkan dilihat tetapi kemudian sirna.
“Bukan soal berapa lama kita hidup, tetapi seberapa lama kita dikenang orang setelah meninggal nanti.” Begitulah yang saya dengar dari salah seorang redaktur koran berbahasa Mandarin (Harian Indonesia) di era-era sedang aktif menulis untuk mereka. “Berani menghadapi kesulitan hidup lebih hebat dari tidak takut mati” adalah another popular line untuk boosting keberanian menyongsong kematian.
Ya memang banyak sekali jargon-jargon, informasi, teori dan “kepercayaan” yang diciptakan mengenai kematian, semuanya bertujuan agar kita tidak usah keder/takut menghadapi kematian. Apapun yang kita dengar soal kematian, dicerna saja dan lihat dari sisi positifnya. We all cannot avoid death karena sebenarnya saat kita lahir kita sudah mulai count down ke kematian. Tanpa ada kematian tak akan ada kelahiran/kehidupan. Inilah kenyataan hidup. (***)

Kebenaran Sejati Itu Indah

APAKAH kebenaran itu indah? Bagi banyak orang, kebenaran dan keindahan mungkin dua hal yang berbeda. Namun Steven Weinberg, peraih Hadiah Nobel Fisika 1979, meyakini bahwa “kebenaran itu indah.” Bagi para fisikawan, persamaan mashur Albert Einstein, E=mc2, tidak ubahnya puisi. Bagi Einstein sendiri, keindahan merupakan syarat utama bagi setiap teori (fisika) bila mau dianggap serius—adalah teori fisika yang main-main?
Keyakinan bahwa teori mengenai alam semesta mesti indah bahkan menjadi pemandu yang amat berharga bagi para fisikawan; ia sejenis bintang kutub. Weinberg percaya, meningkatnya keindahan teori-teori fundamental mengenai materi menandakan bahwa para fisikawan telah berada di ambang penemuan teori pamungkas yang sanggup menjelaskan setiap hal (Weinberg, Dreams of a Final Theory, 1993).
Selama puluhan tahun Weinberg memburu teori pamungkas yang juga diangankan dan diburu oleh Einstein di sepanjang 25 tahun terakhir kehidupannya, namun tak kunjung ia jumpai. Bahwa keindahan adalah bintang kutub yang memandu perburuan itu, Weinberg berbagi keyakinan dengan Einstein. Hans, anak tertua Einstein, suatu kali mengatakan, karakter ayahnya lebih menyerupai seniman ketimbang ilmuwan. "[Bagi Einstein], pujian tertinggi untuk teori yang baik bukanlah bahwa teori itu benar dan bukan lantaran teori itu eksak, melainkan karena teori itu indah," ujar Hans.
Fisikawan Paul Dirac juga berpandangan serupa. Dalam sebuah seminar di Moskow (1955), ketika diminta untuk meringkaskan filsafat fisikanya, Dirac menulis di papan dalam huruf-huruf besar: "Hukum fisika mesti menghadirkan keindahan matematis."
Soalnya kemudian, keindahan macam apa? Secara tak langsung jawabannya diberikan oleh Stephen Hawking yang menyebutkan bahwa satu-satunya persamaan yang tak bisa ia tiadakan dari naskah The Brief History of Time ialah E=mc2. Narasi yang ia kisahkan dalam buku laris itu akan berkurang bobotnya bila persamaan Einstein itu dihapus. Dan Hawking tetap mencantumkannya karena alasan kesederhanaan persamaan itu, yang hanya terdiri atas lima simbol: E, =, m, c, dan 2. Sederhana, tanpa hiasan berlebihan.
Keindahan itu juga bermakna praktis. Laiknya keindahan kuda pacu, yang sebagiannya terletak pada kemampuannya memenangi pacuan di lintasan, keindahan suatu teori bergantung pula pada kedigdayaannya memberi penjelasan tentang bagaimana alam bekerja. Persamaan ini indah lantaran mampu membangkitkan keriangan seperti yang dijumpai dalam puisi, lukisan, musik, atau tari.
Seperti karya-besar seni, persamaan yang indah memiliki atribut lebih dari sekadar daya tarik--universalitasnya, kesederhanaannya, ketakterhindarannya, dan kekuatannya. Bayangkanlah lukisan Apples and Pears-nya Paul Cézanne, interpretasi Lady Macbeth oleh Judi Dench, atau Manhattan dalam lantunan Ella Fitzgerald. Keindahannya bukan dari jenis hiasan, melainkan esensial.
Persamaan yang indah mestilah menjulang lantaran kesesuaiannya dengan setiap eksperimen yang relevan dan, lebih baik lagi, mampu memprediksi tentang sesuatu. Bagi Weinberg, teori gravitasi Einstein indah. Inilah teori yang dibangun di atas prinsip sederhana, yang tak bisa diubah sedikit pun tanpa meruntuhkannya, yang belum pernah ditemukan melalui eksperimen, namun telah membuka keseluruhan jalan baru bagi riset-riset lain. Jauh sebelum ada dukungan serius dari eksperimen, sebelum ia mempublikasikan teorinya, Einstein berkelakar: persamaan itu "terlalu indah untuk salah".
Tapi, keindahan teori dalam sains tidak selalu disepakati oleh setiap ilmuwan. Teori penyatuan gaya Weinberg, yang mendatangkan Nobel baginya, sempat dikritik oleh fisikawan Richard Feynman saat masih hangat dibicarakan pada 1975. "Teori itu terlalu buruk untuk benar," ujar humoris ini.
Bagi Weinberg, komentar itu menjengkelkan, kendati ia juga tidak puas pada bagian yang dikritik oleh Feynman. Cita rasa Weinberg, belakangan, terbukti lebih baik ketimbang Feynman. Teorinya lolos dari serangkaian uji eksperimental dan menjadi bagian kunci dari teori pamungkas yang tengah diburu. Namun Weinberg belum sepenuhnya pasti bahwa segalanya akan berjalan konsisten dan bakal sampai kepada teori pamungkas itu.
"Kalaupun tidak konsisten, lantas mau apa?" kata Weinberg. "Bahkan, seandainya teori-teori kita secara matematis konsisten, kita juga tidak pernah memperoleh kepastian absolut bahwa teori-teori itu menggambarkan dunia yang sesungguhnya.” Bagi Weinberg, fisikawan berurusan dengan kemungkinan, bukan kepastian. ***

Koalisi untuk Kepentingan Siapa?


KOALISI. Tema ini merupakan isu sentral dalam banyak pembicaraan publik selepas pemilu legislatif 9 April yang lalu. Berkaitan dengan pembicaraan tentang koalisi ini, menurut saya, hal ini tidak boleh dibiarkan hanya menjadi kepentingan elite. Koalisi harus ditempatkan pada wacana publik dan untuk kepentingan publik.
Artinya, dalam konteks ini, publik harus mencermati dan menilai bagaimana para elite itu bermanuver dalam pembentukan koalisi politik mereka, yang dilakukan untuk menentukan pasangan kandidat pemimpin tertinggi eksekutif di negara ini. Kalangan masyarakat madani perlu mengawal agar tujuan pembentukan koalisi tetap dalam lingkup public interest, bukan elite interest. Saya kira penting bagi media cetak ataupun elektronik, para aktivis media sosial, intelektual, mahasiswa, dan para pengamat untuk bersikap kritis terhadap pembentukan koalisi dari sejumlah kekuatan politik. Diduga kuat mereka akan tampil dalam pemilihan presiden 9 Juli mendatang. Jadi, yang perlu dipertanyakan, apakah hal itu berorientasi publik atau tidak?
Isu utama koalisi tidak boleh dibiarkan berkisar tentang siapa yang harus dipasangkan dengan calon presiden tertentu. Tidak pula boleh dibiarkan hal ini hanya berbicara tentang partai apa bergabung kepada partai apa, lalu, berapa poros yang akan hadir dalam konstestasi calon wakil presiden dan calon presiden 9 Juli nanti. Sebab, ketika hanya berbicara masalah itu, tidak akan ada titik temunya dengan kepentingan publik.
Kita harus mengupayakan bahwa koalisi yang terbentuk akan memberi ekspektasi positif tentang Indonesia selama 2014-2019. Sebagai contoh, apa kontribusi koalisi yang terbentuk terhadap masalah kesejahteraan rakyat, khususnya dalam aspek kesenjangan ekonomi yang semakin meningkat dan penurunan angka kemiskinan yang subtansial? Perlu disadari, garis kemiskinan yang kita pakai sebagai dasar perhitungan angka kemiskinan tidak mencerminkan kesepakatan pandangan dunia tentang kemiskinan yang sesungguhnya.
Garis kemiskinan yang disepakati oleh dunia internasional adalah penghasilan US$ 2 per hari per kapita, sedangkan kita menggunakan angka sekitar US$ 1 per hari per kapita. Parameter internasional harusnya berani ditetapkan sebagai garis kemiskinan nasional guna menentukan angka kemiskinan. Dengan demikian, penurunan angka kemiskinan yang terjadi benar-benar keberhasilan subtansial yang diakui dunia, bukan keberhasilan yang bersifat pencitraan. Pemerintah selama ini bias pada pertumbuhan ekonomi dan abai terhadap masalah keadilan ekonomi.
Kita memang telah termasuk dalam kelompok negara dengan pendapatan menengah-atas dengan pendapatan per kapita sebesar US$ 3.542,9. Tapi hal itu menjadi tidak bermakna ketika kita memahami bahwa yang menikmati kue pembangunan Indonesia itu sebenarnya tidak proporsional. Ada 10 persen penduduk, jika merujuk pada Indikator Pembangunan Dunia dari Bank Dunia pada 2013, yang memiliki 65,4 persen dari aset total nasional. Dalam hal ini, Indonesia berada di peringkat 17 negara yang kesenjangan ekonominya paling tinggi dari 150 negara yang disurvei.
Tidak mengherankan jika kemudian angka indeks Gini juga semakin melebar dari 0,329 pada 2002 menjadi 0,413 pada 2011, apalagi kalau dibandingkan pada era Orde Baru yang sebesar 0,3. Hal itu menunjukkan kesenjangan ekonomi antara orang kaya dan miskin di era Reformasi ini semakin melebar.
Ketimpangan (kesenjangan) ekonomi, ditambah dengan semakin sulitnya akses rakyat miskin terhadap pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan, adalah bahaya laten yang bukan saja bisa menimbulkan goncangan sosial. Seperti yang dikemukakan Stiglitz, dalam bukunya, The Price of Inequality (2012), hal ini menjadi sesuatu yang bisa menghancurkan demokrasi itu sendiri. Pemerintah di masa mendatang harus berani mengambil sikap politik yang impelementatif dalam mengatasi masalah kesenjangan ekonomi yang semakin melebar dan menurunkan angka kemiskinan yang subtansial.
Untuk itu, DPR dan pemerintah periode 2014–2019 (hasil koalisi yang terbentuk) harus berani menjadikan angka penurunan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi menjadi paremeter penting pembangunan, yakni dengan cara memasukkan parameter-parameter tersebut menjadi asumsi dasar dan target penting dalam APBN. Belum ada satu pemerintah pun pada era Reformasi ini yang berani menjadikan penurunan kesenjangan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan signifikan sebagai kemauan politik (political will) dalam APBN yang mereka susun.
Masyarakat madani perlu mengedukasi para pemilih untuk memaksa para politikus yang bermanuver tentang koalisi calon presiden agar tidak sekadar berbicara tentang siapa mendukung siapa dan mendapat apa, tapi bagaimana koalisi itu memberi ekspektasi tentang Indonesia yang lebih adil, makmur, dan sejahtera. Bahkan, sebaliknya, kekuatan-kekuatan politik yang hanya mempertontonkan koalisi yang sarat dengan kepentingan elite layak dihukum. Caranya adalah dengan tidak memilih kekuatan koalisi tersebut dalam pemilihan presiden 9 Juli nanti. (***)